Dec 16, 2013

Analisa Konflik Mindanao



  Mindanao adalah salah satu wilayah di bagian selatan negara Filiphina yang hingga saat ini masih di selimuti dengan konflik terbuka di tengah kehidupan masyarakatnya. Tulisan ini secara umum mencoba untuk menganalisa latar belakang dan bagaimana konflik terbuka tersebut masih menyelimuti wilayah Mindanao hingga saat ini.

  Berangkat dari nilai sejarah, wilayah Mindanao sejak dahulu telah di tempati oleh suku bangsa Moro sebagai mayoritas kelompok suku bangsa yang mendiami wilayah tersebut, selain terdapat suku lain seperti suku bangsa Marano dan Tausug. Suku bangsa Moro secara keseluruhan menganut kepercayaan Islam yang di bawa oleh para saudagar dan para ulama islam yang dulu melakukan perjalaan dari wilayah timur tengah ke wilayah Asia Tenggara dengan tujuan perdagangan dan dakwah Islam. 

  Suku bangsa Moro menjadikan wilayah Mindanao sebagai basis perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Filiphina pada saat peperangan melawan penjajahan yang pada saat itu di lakukan oleh negara-negara penjajah seperti; Spanyol, Jepang dan Amerika Serikat. Degan tujuan yang hampir sama, pada umunya, penjajahan yang di laukan di Filiphina memiliki tujuan seperti halnya misi bagsa Spanyol yang melakukan penjajahan guna mencari kekayaan sumber daya alam berupa rempah-rempah dan melakukan penyebaran ideologi atau pemikiran untuk menyebarkan ajaran Agama Kristen.

  Kemunculan Amerika Serikat sebagai pemenang dalam Perang Dunia II yang hingga kini menjadikannya sebagai negara Super Power membawa pengaruh tersendiri dalam perjuangan masyarakat muslim Mindanao, hal ini dibuktikan dengan penyerahan kekuasaan Sepanyol ke Amerka Serikat, hingga pemberian kemerdekaan negara Filiphina oleh Amerika Serikat pada 4 juli 1946. Kemerdekaan yang di berikan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap Filiphina sesaat menjadikan hiporia kemerdekaan seluruh masyarakat Filiphina di tiga pulau yang menjadi wilayah kedaulatan negara tersebut antara lain; Wilaya Manila yang saat ini menjadi Ibukota serta di jadikan pusat pemerintahan negara Filiphina, Cebu dan wilayah Mindanao. Namun hiporia kemerdekaan tersebut tidak berjalan lama setelah keinginan salah satu wilayah yang berada di dalam kedaulatan negara tersebut berusaha untuk memisahkan diri dan merdeka secara penuh, yaitu wilayah Mindanao dengan suku bangsa Moro yang berada di dalamnya. 

  Suku bangsa Moro di Mindanao yang mayoritas memeluk kepercayaan Islam tersebut menginginkan kemerdekaan penuh dari kedaulatan pemerinta Filiphina dengan mendirikan negara Mindanao yang merdeka, tentu saja hal ini ditolak oleh pemerintah yang berkuasa atas wilayah tersebut yaitu pemerintah Filiphina yang pada saat itu berusaha untuk mempertahankan wilayah mindanao agar tetap menjadi wilayah kedaulatan negara Filiphina, hingga akhirnya timbul konflik yang berkepanjangan antara pemerintah Filiphina dengan gerakan “kelompok separatis” yang menginginkan kemerdekaan penuh di Mindanao.

  Kemunculan gerakan separatis di Mindanao tidak terlepas dari pengaruh kuatnya ideologi muslim yang melekat dalam keidupan masyarakat di wilayah tersebut, hal ini di ungkapkan oleh salah satu pemimpin pergerakan Kemerdekaan Mindanao yaitu Nur Misuari, dengan menungkapkan bahwa pada dasarnya keinginan untuk medapatkan kemerdekaan seutuhnya dari pemerintah Filiphina dikarnakan beberapa hal, antara lain; setelah kemerdekaan yang di dapatkan oleh pemerintah Filiphina terjadi penindasan yang dilakukan pemerintah Filiphina terhadap masyarakat muslim Mindanao terutama dengan kedatangan kelompok kristen di wilayah Mindano yang secara keseluruhan menguasi sumber-sumber penting seperti perekonomian di wilayah mindanao, sedangkan mayoritas masyarakat muslim yang mendiami wilayah Mindanao diabaikan begitu saja. Selain itu tujuan pemerintah di Mindanao menyerupai tujuan para penjajah yang pada saat itu berusaha menguras kekayaan sumber daya alam yang ada di wilayah Mindanao. 

  Setelah pecahnya konflik berkepajangan antara pemerintah Filiphina dengan “Kelompok Separatis” di mindanao, akhirnya pada tahun 1976 diadakan perundingan anatar kedua belah pihak yang di lakukan di Tripoli dengan hasil pemberian otonomi penuh yang diberikan pemerintah Filiphina di wilayah Mindanao dengan nama Perjanjian Tripoli. Namun Proses perdamaian ini sendiri tidak seutuhnya memecahkan permasalahan yang di hadapi oleh pemerintah Filiphina hingga saat ini terutama terhadap upaya penghentian konflik terbuka yang terjadi di dalam wilayah kedaulatan negara tersebut. 

  Keberadaan kelompok seperatis yang bersenjata di wilayah Mindanao saat ini justru terpecah hingga melahirkan beberapa kubu yang saling bertentangan, Kelompok yang mengkalim dirinya sebagai perwakilan utama kelompok muslim dan bangsa Moro Mindanao yaitu MILF atau Moro Islam Liberation Front yang mengakui bahwa pada saat ini merekalah yang memiliki kedaulatan penuh untuk menjalakan otonomi penuh yang di berikan pemerintah Filiphina tersebut, namun setelah perpecahan internal yang terjadi dengan kemunculan kelompok separatis lainnya seperti BIFF Bangsamoro Islamic Freedom Fighters

  Perbedaan kepentingan sebagai satu kata kunci yang Vital di dalam konflik menjadi persoalan utama perpecahan kelompok pergerakan kemerdekaan Mindanao tersebut, seperti halnya kelompok MILF yang menyetujui otonomi khusus yang di berikan oleh pemerintah Filiphia di Mindanao atau yang di sebut sebagai ARMM The Autonomous Region in Muslim Mindanao, menimbulkan perpecahan internal di dalam kelompok tersebut akibat ketidak puasan beberapa anggota yang berada didalamnya terhadap keputusan yang menurut mereka telah melenceng dari tujuan utama untuk mendapatkan kemerdekaan wilayah Mindanao secara penuh, hal ini dapat di lihat dari pernyataan Ameril Umbra Kato sebagai pemimpin kelompok BIFF yang sebelumnya merupakan salah satu pemimpin dalam kelompok MILF. Perbedaan kepentingan dalam hal ini merupakan kata kunci terjadinya pertikaian hingga menciptakan konflik berkepanjangan yang hingga saat ini menyliuti wilyah Mindanao. Usaha-usaha perundingan yang telah dan akan di lakukan di kemudian hari dapat di predisiksikan sebagai suatu langkah yang tidak ada hasilnya bila perbedaan kepentingan terutama dengan latarbelakang Agama di jadikan sandaran dalam memperjuangkan suatu hak ulayat atau wilayah kekuasaan. 



      
    
    






No comments:

Post a Comment